A.
Pendahuluan
Kecerdasan
intelektual (IQ) yang selama ini dibangga-bangakan, akhirnya runtuh dengan
temuan tentang kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan intelektual hanya
menyumbang tidak lebih dari 20 % terhadap keberhasilan seseorang, sisanya yakni
80 % justru ditentukan oleh faktor lain, termasuk kecerdasan emsional (Nugroho
2003). Hal ini dilatarbelakangi oleh temuan penelitian di bidang psikologi yang
dilakukan oleh Howard Gardner tentang multiple intlegensi yang menyatakan bahwa
manusia memiliki banak kecerdasan, yang bukan hanya kecerdasan intelektual
saja, telah membua cakrawala baru tentang potensi manusia yang belum
dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset idi bidang psikologi terus
berkembang sampai akhirnya solovey dan mayer (1006) menemukan kecerdasan
emosional sebagai salah satu factor penting bagi kesuksesan hidup manusia.
Temuan solovey dan mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan
golleman (1999) (lihat Nugroho 2003).
Sebagaimana
Bill Gates orang yang terkaya di dunia, sang pemilik Royalty Microsoft, Larry
Ellyson COE of Oracle orang terkaya di dunia nomor dua, Michael Dell CEO dari
Dell Corp, orang terkaya nomor tiga di dunia. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat
diketahui keunggulan kecerdasan emosi yang ternyata bisa demikian jauh
mendahului kecerdasan otak (IQ) dalam berkompetensi. Antara teori IQ dan EQ
tersebut hanya menekankan atau berorientasi pada kebendaan dan hubungan manusia
semata yang bersifat sementara. Oleh sebab itu, orang mengakui adanya Tuhan
atau kekuatan yang luar biasa selain manusia akan mencari tujuan yang abadi,
jangka panjang, dan mutlak. Teori yang mencapai kesemuanya itu adalah SQ (Spiritual
Quotient).
Di samping
itu, orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya
secara rasional atau emosi saja, tetapi ia menghubungkannya dengan makna
kehidupan secara spiritual (Rakhmat http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/ sqanak.htm).
Setiap
anak pastilah mempunyai salah satu dari kesembilan kecerdasan yang diberikan
Tuhan. Bahkan, ada juga anak yang memiliki labih dari satu kecerdasan.
Kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematika-logika, ruang-visual,
musik, naturalis, interpersonal, intrapersonal, kemampuan olah tubuh, dan
spiritual. (http://www.glorianet,org/keluarga/anak/anakpres.html).
Oleh sebab itu, kecerdasan spiritual (SQ) dapat dilatihkan kepada anak. Hal ini
sesuai dengan pendapat seorang ahli psikologi anak dari Amerika Serikat,
Elizabet B. Hurlock yang menyatakan bahwa masa dini usia merupakan periode
keemasan (golden age) dalam proses perkembangan anak. Di masa ini ia
mengalami lompatan kemajuan yang luar biasa, baik dalam hal fisik, emosional
maupun sosial sehingga ia sangat berpotensi untuk belajar apa saja (dalam
Adiningsih http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0403/
15/0801.html).
Mendidik
anak untuk memperoleh SQ itu penting, karena banyak orang yang mempunyai IQ dan
EQ yang tinggi tidak mempunyai akhlak yang baik. Sebagaimana sikap yang
dihadapi bangsa Indonesia, orang pintar itu banyak tetapi banyap pula orang
berakhlak bejat dan rusak. Mereka tidak takut adanya kekuasaan tertinggi di
atas mereka, sehingga ia mau melakukan tindakan KKN, perampokan, saling
menjatuhkan dan tindak kejahatan lainnya.
Fenomena
yang terjadi tersebut dapat dikurangi jika orang-orang yang dekat dengan
anak-anak–generasi penerus bangsa–mendidik anaknya dengan menekankan pula SQ
(tidak meninggalkan pula IQ maupun EQ). Harapan pendidikan sejak dini ini akan
tumbuh sikap religius anak. Pendidikan ini dapat dilakukan bukan dengan pengajaran,
tetapi dengan cara memberi teladan hidup. Dalam hal ini teladan hidup bukan
saja dari orang-orang yang dekat dengan anak, bisa saja melalui bercerita,
seperti cerita Bawang Putih-Bawang Merah, atau Kancil Mencuri
Mentimun, dan sebagainya, (http://www.indomedia.com/intisari/
2002/02/khas_keluarga2.htm).
B.
Hakikat Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan
spiritual (SQ) menurut Zohar dan Marshal (dalam Agustian 2002:57), adalah
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan
untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna disbanding dengan yang lain. Agustian (2002:57) memperjelas bahwa SQ
adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Emmons
mengatakan ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual adalah
(a) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (b)
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (c) kemampuan untuk
mensakralkan pengalaman sehari-hari, (d) kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan (e) kemampuan untuk
berbuat baik (Rakhmat dalam http://www.muthahhari.co.id/doc/artikel/sq anak.htm).
Dua
karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan
spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniah di
sekitarnya mengalami transedensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia
spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dirinya dengan
seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang
disaksikan dengan alat-alat inderanya. Sebagai contoh adalah anak pak Rahman
pada kisah melakukan salat malam dan ketika ia berdoa sambil menangis merupakan
suatu contoh karakteristik kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan
doa-doa personalnya dalam salat malamnya.
Sanktifikasi
pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika seseorang meletakkan
pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang
musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu bara.
Salah seorang diantara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak
kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia
tampak tidak kecapekan. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa
yang sedang Anda kerjakan?” yang cemberut menjawab, “saya sedang menumbuk
batu.” Yang ceria berkata, ” saya sedang membangun katedral!” yang kedua telah
mengangkat pekerjaan “menupuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia
telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang
cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasioal
atau emosional. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia
merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks kitab suci atau wejangan
orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya,
untuk melakukan definisi situasi. Misalnya, ketika Rahmat diberitahu bahwa
orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkanya ke Jerman, ia tidak putus asa.
Ia yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan
kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Heinrich Heine memberikan
inspirasi dengan kalimatnya “den menschen macht semer seiner wille grob und
klein”? Rahmat memiliki karakteristik yang keempat.
Namun,
Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang
tinggi pada sesama mahkluk Tuhan. “The fifth and final component of
spiritual intelligence refers to the capacity to engange in virtuous behavior:
to show forgivennes, to express gratitude, to be humble, to display compassion
and wisdom,”tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terima
kasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah
sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin dapat disimpulkan dalam
sabda nabi Muhammad saw, “amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia
pada sesama manusia.”
C.
Perkembangan Anak
Anak
adalah aset bagi orang tua dan di tangan orang tualah anak-anak tumbuh dan
menemukan jalan-jalannya. Saat si kecil tumbuh dan berkembang, ia begitu lincah
dan memikat. Lalu muncul rasa mencintai dan bangga kepadanya. Namun,
dimungkinkan banyak para orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya
dalam diri si kecil terjadi perkembangan potensi yang kelak akan berharga sebagai
sumber daya manusia.
Dalam lima
tahun pertama yang disebut the golden years, seorang anak mempunyai
potensi yang sangat besar untuk berkembang. Pada usia ini 90 % dari fisik otak
anak sudah terbentuk. Karena itu, di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya
mulai diarahkan. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali,
sebagai orang tua yang proaktif seharusnya memperhatikan benar hal-hal yang
berkenaan dengan perkembangan sang buah hati (Soekresno dalam http://www.balita
cerdas.com/kembang/masapenting.html).
Menurut
analisis psikologi perkembangan, disebutkan bahwa masa balita merupakan
masa-masa kritis dalam membentuk kepribadian anak. Kebiasaan dan sifat-sifat
yang positif dibentuk sejak tahap dini perkembangan anak. Usia balita merupakan
masa kritis perkembangan kepribadian manusia karena pada masa itulah diletakkan
dasar-dasar pembentukan perkembangan personal sosial (Ericson, 1078), dan
perkembangan moral seseorang (Kohlberg, 1982). Pembentukan kepribadian tu
mensyaratkan adanya internalisasi nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan
terdekat dalam hal ini adalah orang tua dan keluarga, serta masyarakat (dalam
Nugroho 2003)
Dalam
membantu anak mencapai internalisasi nilai-niali universal fundamental ini
diperlukan model panutan yang disiplin dan konsisten untuk menguatkan
penyerapan nilai-nilai dan perubahan perilaku (Bandura, 1992 dalam Nugroho
2003). Perkembangan kepribadian anak akan berhasil baik jika orang tua mampu
melakukan pilihan nilai-nilai fundamental universal yang benar bagi anak, dan
mampu menyampaikan nilai-nilai tersebut melalui media, cara dan kesempatan yang
tepat.
D. Bercerita
Cerita
biasanya terdiri dari serangkaian peristiwa yang saling terkait dalam suatu
periode waktu, yang di dalamnya pembaca atau pendengar melihat tokoh-tokoh yang
berperan, merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh itu, mengalami
ketegangan karena perasaan yang muncul dan kelegaan ketika persoalan itu dapat
diselesaikan. Yang penting dari sebuah cerita adalah makna yang dapat
disampaikan kepada para pembaca atau pendengarnya. Sementara itu, bercerita
adalah suatu upaya menyampaikan suatu peristiwa dan menghidupkannya sehingga
pendengar atau pembaca dapat merasakan peristiwa yang disampaikan, bahkan
pendengar atau pembaca dapat mengambil makna dari cerita itu sebagai mutiara
kehidupan, mutiara iman (Pua dalam http://asmbektim.tripod.com/renung/renungGSM01.htm).
Cerita
memang sangat bertenaga. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa cerita
berperan sangat signifikan bukan hanya dalam perkembangan bahasa anak, tetapi
juga perkembangan emosional dan psikologinya (Wals 1993:136 dalam Sarumpaet
2003). Sementara itu, Sarumpaet (2003) mengatakan bahwa cerita dan rangkaian
kisah yang disampaikan dalam bahasa yang terstruktur dengan pilihan kata yang
tepat amat mempengaruhi kemampuan bahasa seorang anak. Cerita yang membangun
kebahasaan itu juga sekaligus memperkaya imajinasi terlebih pengertian dan
pengenalan anak atas kehidupan. Oleh karena itu, semakin banyak anak mendengar
dan membaca cerita, makin berkembang pula bahasa dan pikirannya.
Bercerita
bukan hanya menyampaian pesan atau peristiwa, tetapi juga memberi nuansa yang
baik bagi perkembangan anak (Pua dalam http://asmbektim.tripod.com/ renung/ renungGSM01.htm).
Kanak-kanak dan cerita bagaikan tidak dapat dipisahkan. Peranan cerita sangat
besar dalam proses pendidikan sebuah generasi. Cerita dapat membantu kanak-kanak
memperkuat imajinasi, meningkatkan pengalaman, mengmbangkan penguasaan bahasa
serta memberikan pelajaran budi pekerti dan nilai murni melalui
peristiwa-peristiwa yang diungkap di dalamnya. (Ahmad dalam http://www.danchan.com/weblog/wadah/65567).
1.
Persiapan Bercerita
Bercerita
adalah salah satu metode menyampaikan suatu pelajaran, karena itu perlu
persiapan. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan adalah:
- mempelajari dan mencari tahu kondisi dan tingkat kemampuan para pendengar
- memahami dan menghayati bahan pelajaran yang akan disampaikan
- mengolah bahan teresbut dan memperkaya dengan bahan-bahan lain (untuk hal ini dapat menggunakan alat atau gambar peraga yang menunjang, yang juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak).
- menyusun bahan tersebut dalam bentuk cerita, yang biasanya terdiri dari:
1)
pendahuluan cerita yang menarik
2)
isi cerita dengan diperkaya bahan lain
3)
makna ceriata yang sederhana dan jelas
4)
klimaks cerita yang menarik
5)
penutup cerita singkat saja tapi berkesan
(Pua dalam
http://asmbektim.tripod.com/renung/renungGSM01.htm).
2.
Teknik Bercerita
Bila
konsep cerita telah tersusun dengan baik beserta pengayaannya. Maka selanjutnya
adalah menyampaikan konsep itu kepada anak-anak. Hal-hal yang dapat dilakukan
adalah:
- mengusahakan dan membiasakan tidak teks-book, menciptakan kontak pandang dan batin dengan anak (konsep yang disusun sebaiknya diendapkan dalam pikiran).
- Menggunakan body-language (bahasa tubuh)
- Perubahan ekspresi (mimik, raut muka)
- Intonasi suara (naik turun suara, lemah kuatnya, tekanan-tekanan dan jeda)
- Percakapan, dialog, monolog antaratau oleh pencerita
E.
Alasan Bercerita sebagai Peningkatan Kecerdasan Spiritual Anak
Bercerita
merupakan salah satu teknik menyampaikan firman Tuhan (mengajarkan firman
Tuhan) yang paling sering digunakan. Ada beberapa alasan seseorang
memilih menggunakan teknik bercerita dibandingkan teknik lainnya seperti drama,
diskusi, atau menggunakan peralatan audio visual. Menurut Choun dan Lawson
(1993: 308-309), ada beberapa alasan yang sering dikemukakan seseorang
menggunakan metode cerita adalah:
- Umumnya anak lebih menyukai cerita
Anak kecil
telah banyak mengenal beragam cerita, cerita Kancil, cerita Cinderilla,
dan lain sebagainya. Cerita telah mengakar lama dalam diri anak meskipun
demikian, cerita yang sudah dikenal anak pun akan tetap memiliki daya tarik
bila seorang atau orang tua dapat mengemasnya dengan variasai cerita yang
menarik, yang disertai dengan adegan-adegan pengulangan.
2. Lebih murah (tanpa alat peraga)
Bercerita
merupakan alat pengajaran yang sangat murah, karena dapat digunakaan dengan
atau tanpa alat peraga. Seseorang (orang tua) dapat bebas memilih dan
mengembangkan sendiri alat peraga alat peraga yang bervariasi, baik membawa
gambar, peraga, boneka sebagai patner, membuat sketsa selama cerita, dan
variasi-variasi lain.
3. Lebih praktis dan fleksibel
Praktis
karena dapat dilakukan seorang diri tanpa koordinasi dengan orang lain (seperti
drama, misalnya) dan juga fleksibel karena cerita dapat disampaikan hampir di
segala tempat maupun situasi, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan,
kepada orang dalam jumlah yang banyak atau sedikit.
Berdasarkan
keunggulan yang dimiliki bercerita, maka bercerita dicoba diterapkan untuk meningkatkan
kecerdasan spiritual anak. Hal ini mengacu kepada hal yang disukai anak bila
diajarkan anak akan secara senang dan mudah menyerap apa yang diajarkan dengan
baik.
Sayangnya,
teknik bercerita dianggap sebagai teknik yang paling “mudah”, sehingga sebagian
orang merasa tidak perlu melakukan persiapan karena mereka tinggal
“menceritakan ulang” isi bahan yang akan disampaikan kepada anak. Padahal,
dalam menyampaikan cerita, seseorang (orang tua) harus benar-benar memiliki
persiapan yang cukup matang dalam mengemas ulang isi cerita. Hal ini penting
untuk dilakukan agar pada saat cerita disampaikan, tujuan yang ingin dicapai
benar-benar sampai pada sasaran.
F.
Pemanfaatan Bercerita dalam Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Anak
Bercerita
merupakan salah satu cara yang efektif dan murah dalam meningkatkan kecerdasan
spiritual anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (dalam http://www.muthahhari.co.id/dos/artikel/sqanak.htm)
yang telah menyampai-kan kiat-kiat meningkatkan SQ anak-anak, yakni (a) jadilah
“gemabala spiritual” yang baik, (b) bantulah anak untuk merumuskan misi
hidupnya, (c) baca kitab suci bersama-sama dan jelas maknanya dalam kehidupan,
(d) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual, (e) diskusikan
berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah, (f) libatkan anak dalam
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, (g) bacakan puisi,puisi, atau lagu-lagu
yang spiritual dan inspirasional, (h) bawa anak untuk menikmati keindahan alam,
(i) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan (j) ikut sertakan anak
dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Berdasarkan
pendapat di atas, bercerita merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dalam
meningkatkan kecerdasan emosional anak. Adapun langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh orang tua dalam mendidik kecerdasan spiritual anak-anaknya
adalah sebagai berikut ini.
- Anak disuruh memilih cerita yang diinginkannya
Sebelum
anakdipersilahkan emmilih cerita, orang tua berhak menentukan pilihan cerita
yang akan dipilih anaknya. Pada kesempatan inilah, orang tua dapat seklaigus
menentukan arah peningkatan kecerdasan spiritual anaknya dari lima karakter
orang yang cerdas secara spiritual yang meliputi, (a) kemampuan untuk
mentransendensikan yang fisik dan material, (b) kemampan untuk mengalami
tingkat kesadaran yang memuncak, (c) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman
sehari-hari, (d) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk
menyelesaikan masalah, dan kemampuan untuk berbuat baik.
2. Orang tua bercerita
Setelah
anak menentukan cerita yang disukainya, orang tua dapat memulai berceritanya.
Orang tahu harus dapat memanfaatkan sisi bercerita ini sebagai wujud
kasih sayang dari orang tua kepada anak, sehingga anak merasa diperhatikan dan
disayang oleh orang tuanya. Hal ini yang dapat memberikan daya tarik apa yang
dikatakan oleh orang tua secara tidak langsung akan dimengerti dan dilaksanakan
oleh anak dengan tanpa paksaan. Nasihat-nasihat orang tua kepada anak dapat
juga diselipkan dalam isi cerita tersebut dengan memanfaatkan penokohan tokoh
atau peristiwa yang ada dalam isi cerita.
3. Orang tua menjelaskan isi cerita
Orang tua
menjelaskan isi cerita dengan menyelaraskan kelima karakter orang yang cerdas
spiritual yang sesuai. Kelima karakter orang yang cerdas spiritualnya adalah
seseorang mempunyai (a) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan
material, (b) kemampan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (c)
kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (d) kemampuan untuk
menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan kemampuan
untuk berbuat baik. Orang tua dapat merubah redaksional cerita selama isi
cerita masih sama dengan aslinya. Hal ini dimaksudkan agar cerita tersebut
lebih menarik dan lebih dapat dikenal oleh anak-anak.
4. Berilah kesempatan anak bertanya
Orang tua
harus memberikan kesempatan anaknya setelah ia memberikan isi yang dijelaskan
dengan plafon lima karakter orang yang mempunyai kecerdasan spiritual. Orang
tua harus mejelaskan semua pertanyaan dengan hal-hal yang konkret dan mudah
dikenali oleh anak serta tidak terlupakan harus menuju kelima karakter orang
yang cerdas spiritual tersebut.
5. Anak diminta menerapkan pelajaran yang paling berharga dalam cerita tersebut dalam
kehidupan sehari-hari
Orang tua
dapat menilai bahwa anaknya telah berhasil memperoleh kecerdasan spiritual,
jika ia melihat anaknya dapat menerpkan hasil pelajaran yang diambil dari
cerita yang diceritakan orang tua kepadanya. Jadi, untuk mengetahui anak telah
memperoleh kecerdasan spiritual jika anak dalam kehidupan sehari-harinya
terdapat lima karakter orang yang cerdas spiritualnya.
Sebagai
gambaran dari uraian di atas, akan diperlihatkan contoh penerapannya dengan
cerita-cerita fabel yaitu cerita Si Raja Hutan dan Tikus, Si Kancil Mencuri
Mentimun, Si Kancil Denga Si Siput, dan Si Kancil dengan Si Monyet.
Berdasarkan
cerita-cerita di atas, anak telah memilih cerita yang diinginkan, misalnya
cerita Si Raja hutan dan Tikus. Kemudian orang tua menceritakan bahwa isi
cerita tersebut. Secara ringkasnya, isi cerita tersebut sebagaimana di bawah
ini.
Suatu
ketika ada seekor singa yang berkedudukan raja Hutan telah terjerat oleh
jaring-jaring jebakan pemburu. Singa meraung-raung minta tolong. Sementara itu,
ada seekor tikus yang masih asyik berjalan-jalan sambil mencari makanan
mendengar raungan singa minta tolong. Si Tikus mendengarkan dengan seksama
untuk mengetahui dari mana dating suara minta tolong.
Setelah
mengetahui arah datangnya suara minta tolong tersebut, tikus tersebut berkata
sambil merinding ketakutan,
“Hai…..siapa itu?”
“Siapa
yang minta tolong?”
Kau itu
dari bangsa mana?manusia, hewan, jin, ataupun syaitan?”
“Ayo
jawab!”
Singa
menjawab dengan wajah memelas,
“Aku ini
bangsa hewan”
“Aku
adalah Si Raja Hutan”
Si Singa selalu membujuk tikus agar menolong dirinya, tak tahan atas raungan singa itu, tikus dengan perasaan agak takut mencoba mendekati singa yang masih dalam keadaan terjerat kemuadian ia menggerogoti sedikit demi sedikit tali yang menjerat Si Raja Hutan.
Dengan rasa
sabar, si tikus bekerja keras siang malam menggerogoti tali tersebut tanpa
imbalan dari Si Raja Hutan. Meskipun menolong Si Raja Hutan dapat
membahayakan dirinya sendiri, yakni jika ia berhasil ia membebaskan Si Raja
Hutan, nantinya dirinya sendiri akan dimakan raja hutan yang lapar tersebut
atau bahaya datang dari pemburu yang mengetahui ulah nya ingin membebaskan Si
Raja Hutan yang telah menjadi incaranya. Hal tersebut tidak ada terlintas dalam
pikiran tikus.
Meskipun tikus
merupakan hewan kecil dan terhina, tetapi ia hanya berusaha membebaskan Si Raja
Hutan yang dalam keadaan bahaya.
“Sabar
aja, hai Raja Hutan. Aku pasti menolongmu” kata tikus dengan penuh keyakinan.
Setelah si
raja hutan bebas, ia mengucapkan terima kasih sambil berjabat tangan. Si Raja
Hutan, ” kita adlah teman dan selamanya taman”.
Tiba
giliran si Tikus dikejar-kejar oleh kucing hutanyang kelaparan, kemudian
seketika muncul denga tiba-tiba Si Raja Hutan dengan wajah yang garang terhadap
kucing yang ingin memangsa tikus. Si Raja Hutan giliran meolong si Tikus.
Selajutnya
orang tua menjelaskan isi cerita dengan mengaitkan kelima karakter orang yang
cerdas spiritualnya. Sebagaimana cerita di atas, kata-kata yang cetak tebal
merupakan kata-kata atau kalimat yang dieksploitasi menjadi sebuah keterangan
yang lebih mengarah kepada peningkatan spiritual anak
Berdasarkan
hasil penceritaan orang tua kepada anak, tentunya ada hal-hal yang belum
dimengerti oleh anak. Saat inilah orang tua memberikan kesempatan anak menanyakan
hal-hal yang belum dimengerti dan dipahami. Kemudian dengan meneruskannya
hal-hal yang belum dimengerti dan dipahami. Kemudian degna meneruskannya dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya anak harus menolong temannya yang dalam
kesusahan, meskipun biasanya ia menyakiti dirinya sendiri dan sebagainya.
Setelah
mengetahui cara atau prosedur pemanfaatan bercerita dalam meningkatkan
kecerdasan spiritual anak, tentunya seseorang atau orang tua memperhatikan
hal-hal yang harus diperhatikan dalam bercerita. Menurut Choun dan Lawson
(1993:308-309), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bercerita yakni:
- Pendengar harus terlibat
Cerita
yang lengkap bukan jaminan anak akan memahami isi cerita dengan baik namun,
dengan keterlibatan anak secara aktif dalam bercerita akan semakin mendorong
pemahman anak aka nisi cerita yang diceritakan kepadanya.
2. Cerita dapat dimengerti
2. Cerita dapat dimengerti
Dalam
menyampaikan cerita, orang tua juga harus melihat kebutuhan rohani anak yang
dilayaninya, keadaan dan situasi di mana anak tersebut tinggal, serta
pengetahuan anak tentang dunianya.
3. Orang tua benar-benar memahami
cerita yang akan disampaian
Seorang
pembawa cerita yang baik dapat membawa anak-anak serasa masuk ke dalam tempat
dan suasana cerita yang sesungguhnya dandapat membuat karakter dalam cerita
menjadi lebih hidup. Hal ini bias terjadi apabila orang tua benar-benar
memahami cerita yang akandisampaikan. Hal yang perlu dipahami benar antara
lain;
a)
tempat kejadian; dalam menggambarkan tempat kejadian, gunakan alat
peraga dan kalimat yang jelas untuk memudahkan anak-anak menggambarkan dan
memahami tempat terjadinya peristiwa tersebut.
b)
kejadian dan peristiwa; dalam bercerita pada anak-anak kecil, sebaiknya
menyampaikan alaur kejadian secara runtut, dari awal, pertengahan hingga akhir.
Cerita yang menggunakan alur flashback tidak akan banyak membantu anak-anak
untuk mengingatkan cerita sebelumnya. Mengushakan cerita secara kronologis.
c)
karakter; dalam bercerita harus menjelaskan karakter tokohnya, siapa
namanya, bagaimana kepribadiannya,.bagaimana bentuk wajahnya, penakut, oemalu,
atau pemberani. Bagaimana bentuk badannya, tinggi, kurus, pendek, gemuk. Apa
status sosialnya, raja, penduduk, pendatang, pedagang atau pemungut cukai. Apa
motivasi yang dimiliki tokoh tersebut. Apa keistimewaannya dan kembangkan
karakternya dengan jelas.
Kemudian
waktu yang paling tepat dalam bercerita kepada anak adalah ketika anak akan
tidur. Artinya, cerita yang disampaikan merupakan obat bius orang tua kepada
anaknya sebagai teman tidur anak.
G. Penutup
Sebenarnya,
banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan bercerita. Akan tetapi
banyakmnya manfaat bukan jaminan bila sesatu dapat dipahami dan dimerngerti
oleh orang banyak, terutama dalam hal ini bercerita. Untuk itu, meski perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Menurut penulis, bukan
jaminan dapat menggantikan kegiatan bercerita. Sebab, di dalam bercerita ada
penanaman nilai-nilai yang memiliki muatan untuk meningkatkan kecerdasan
spiritual anak yang tidak dapat ditemukan dalam penggunaan media yang
secangging apa pun. Semoga, perkembangan anak dini bangsa ini dapat menjadi
generasi yang mampu membawa bangsa ini menjadi adil dan makmur, amin.
+ komentar + 1 komentar
Posting Komentar