Peningkatan Kecerdasan Spiritual Anak Usia Dini

Senin, 25 Juni 20121komentar



A.    Pendahuluan
Kecerdasan intelektual (IQ) yang selama ini dibangga-bangakan, akhirnya runtuh dengan temuan tentang kecerdasan emosional (EQ). Kecerdasan intelektual hanya menyumbang tidak lebih dari 20 % terhadap keberhasilan seseorang, sisanya yakni 80 % justru ditentukan oleh faktor lain, termasuk kecerdasan emsional (Nugroho 2003). Hal ini dilatarbelakangi oleh temuan penelitian di bidang psikologi yang dilakukan oleh Howard Gardner tentang multiple intlegensi yang menyatakan bahwa manusia memiliki banak kecerdasan, yang bukan hanya kecerdasan intelektual saja, telah membua cakrawala baru tentang potensi manusia yang belum dieksplorasi untuk mendorong keberhasilan hidup. Riset idi bidang psikologi terus berkembang sampai akhirnya solovey dan mayer (1006) menemukan kecerdasan emosional sebagai salah satu factor penting bagi kesuksesan hidup manusia. Temuan solovey dan mayer (1996) tersebut disempurnakan oleh Patton (1997) dan golleman (1999) (lihat Nugroho 2003).
Sebagaimana Bill Gates orang yang terkaya di dunia, sang pemilik Royalty Microsoft, Larry Ellyson COE of Oracle orang terkaya di dunia nomor dua, Michael Dell CEO dari Dell Corp, orang terkaya nomor tiga di dunia. Berdasarkan kenyataan tersebut dapat diketahui keunggulan kecerdasan emosi yang ternyata bisa demikian jauh mendahului kecerdasan otak (IQ) dalam berkompetensi. Antara teori IQ dan EQ tersebut hanya menekankan atau berorientasi pada kebendaan dan hubungan manusia semata yang bersifat sementara. Oleh sebab itu, orang mengakui adanya Tuhan atau kekuatan yang luar biasa selain manusia akan mencari tujuan yang abadi, jangka panjang, dan mutlak. Teori yang mencapai kesemuanya itu adalah SQ (Spiritual Quotient).
Di samping itu, orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosi saja, tetapi ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual (Rakhmat http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/ sqanak.htm).
Setiap anak pastilah mempunyai salah satu dari kesembilan kecerdasan yang diberikan Tuhan. Bahkan, ada juga anak yang memiliki labih dari satu kecerdasan. Kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematika-logika, ruang-visual, musik, naturalis, interpersonal, intrapersonal, kemampuan olah tubuh, dan spiritual. (http://www.glorianet,org/keluarga/anak/anakpres.html). Oleh sebab itu, kecerdasan spiritual (SQ) dapat dilatihkan kepada anak. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang ahli psikologi anak dari Amerika Serikat, Elizabet B. Hurlock yang menyatakan bahwa masa dini usia merupakan periode keemasan (golden age) dalam proses perkembangan anak. Di masa ini ia mengalami lompatan kemajuan yang luar biasa, baik dalam hal fisik, emosional maupun sosial sehingga ia sangat berpotensi untuk belajar apa saja (dalam Adiningsih http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0403/ 15/0801.html).
Mendidik anak untuk memperoleh SQ itu penting, karena banyak orang yang mempunyai IQ dan EQ yang tinggi tidak mempunyai akhlak yang baik. Sebagaimana sikap yang dihadapi bangsa Indonesia, orang pintar itu banyak tetapi banyap pula orang berakhlak bejat dan rusak. Mereka tidak takut adanya kekuasaan tertinggi di atas mereka, sehingga ia mau melakukan tindakan KKN, perampokan, saling menjatuhkan dan tindak kejahatan lainnya.
Fenomena yang terjadi tersebut dapat dikurangi jika orang-orang yang dekat dengan anak-anak–generasi penerus bangsa–mendidik anaknya dengan menekankan pula SQ (tidak meninggalkan pula IQ maupun EQ). Harapan pendidikan sejak dini ini akan tumbuh sikap religius anak. Pendidikan ini dapat dilakukan bukan dengan pengajaran, tetapi dengan cara memberi teladan hidup. Dalam hal ini teladan hidup bukan saja dari orang-orang yang dekat dengan anak, bisa saja melalui bercerita, seperti cerita Bawang Putih-Bawang Merah, atau Kancil Mencuri Mentimun, dan sebagainya, (http://www.indomedia.com/intisari/ 2002/02/khas_keluarga2.htm).

B.     Hakikat Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual (SQ) menurut Zohar dan Marshal (dalam Agustian 2002:57), adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna disbanding dengan yang lain. Agustian (2002:57) memperjelas bahwa SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Emmons mengatakan ada lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual adalah (a)  kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (b) kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (c) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (d) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan (e) kemampuan untuk berbuat baik (Rakhmat dalam http://www.muthahhari.co.id/doc/artikel/sq anak.htm).
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Anak yang merasakan kehadiran Tuhan atau makhluk ruhaniah di sekitarnya mengalami transedensi fisikal dan material. Ia memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dirinya dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa yang disaksikan dengan alat-alat inderanya. Sebagai contoh adalah anak pak Rahman pada kisah melakukan salat malam dan ketika ia berdoa sambil menangis merupakan suatu contoh karakteristik kedua ciri ini, terutama ketika ia menyampaikan doa-doa personalnya dalam salat malamnya.
Sanktifikasi pengalaman sehari-hari, ciri yang ketiga, terjadi ketika seseorang meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung. Konon, pada abad pertengahan seorang musafir bertemu dengan dua orang pekerja yang sedang mengangkut batu bara. Salah seorang diantara mereka bekerja dengan muka cemberut, masam, dan tampak kelelahan. Kawannya justru bekerja dengan ceria, gembira, penuh semangat. Ia tampak tidak kecapekan. Kepada keduanya ditanyakan pertanyaan yang sama, “Apa yang sedang Anda kerjakan?” yang cemberut menjawab, “saya sedang menumbuk batu.” Yang ceria berkata, ” saya sedang membangun katedral!” yang kedua telah mengangkat pekerjaan “menupuk bata” pada dataran makna yang lebih luhur. Ia telah melakukan sanktifikasi.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasioal atau emosional. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Ia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks kitab suci atau wejangan orang-orang suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi. Misalnya, ketika Rahmat diberitahu bahwa orang tuanya tidak akan sanggup menyekolahkanya ke Jerman, ia tidak putus asa. Ia  yakin bahwa kalau orang itu bersungguh-sungguh dan minta pertolongan kepada Tuhan, ia akan diberi jalan. Bukankah Heinrich Heine memberikan inspirasi dengan kalimatnya “den menschen macht semer seiner wille grob und klein”? Rahmat memiliki karakteristik yang keempat.
Namun, Rahmat juga menampakkan karakteristik yang kelima: memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama mahkluk Tuhan. “The fifth and final component of spiritual intelligence refers to the capacity to engange in virtuous behavior: to show forgivennes, to express gratitude, to be humble, to display compassion and wisdom,”tulis Emmons. Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terima kasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan, hanyalah sebagian dari kebajikan. Karakteristik terakhir ini mungkin dapat disimpulkan dalam sabda nabi Muhammad saw, “amal paling utama ialah engkau masukkan rasa bahagia pada sesama manusia.”


C.    Perkembangan Anak
Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orang tualah anak-anak tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Saat si kecil tumbuh dan berkembang, ia begitu lincah dan memikat. Lalu muncul rasa mencintai dan bangga kepadanya. Namun, dimungkinkan banyak para orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil terjadi perkembangan potensi yang kelak akan berharga sebagai sumber daya manusia.
Dalam lima tahun pertama yang disebut the golden years, seorang anak mempunyai potensi yang sangat besar untuk berkembang. Pada usia ini 90 % dari fisik otak anak sudah terbentuk. Karena itu, di masa-masa inilah anak-anak seyogyanya mulai diarahkan. Karena saat-saat keemasan ini tidak akan terjadi dua kali, sebagai orang tua yang proaktif seharusnya memperhatikan benar hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan sang buah hati (Soekresno dalam http://www.balita cerdas.com/kembang/masapenting.html).
Menurut analisis psikologi perkembangan, disebutkan bahwa masa balita merupakan masa-masa kritis dalam membentuk kepribadian anak. Kebiasaan dan sifat-sifat yang positif dibentuk sejak tahap dini perkembangan anak. Usia balita merupakan masa kritis perkembangan kepribadian manusia karena pada masa itulah diletakkan dasar-dasar pembentukan perkembangan personal sosial (Ericson, 1078), dan perkembangan moral seseorang (Kohlberg, 1982). Pembentukan kepribadian tu mensyaratkan adanya internalisasi nilai-nilai yang diperoleh dari lingkungan terdekat dalam hal ini adalah orang tua dan keluarga, serta masyarakat (dalam Nugroho 2003)
Dalam membantu anak mencapai internalisasi nilai-niali universal fundamental ini diperlukan model panutan yang disiplin dan konsisten untuk menguatkan penyerapan nilai-nilai dan perubahan perilaku (Bandura, 1992 dalam Nugroho 2003). Perkembangan kepribadian anak akan berhasil baik jika orang tua mampu melakukan pilihan nilai-nilai fundamental universal yang benar bagi anak, dan mampu menyampaikan nilai-nilai tersebut melalui media, cara dan kesempatan yang tepat.


D.    Bercerita
Cerita biasanya terdiri dari serangkaian peristiwa yang saling terkait dalam suatu periode waktu, yang di dalamnya pembaca atau pendengar melihat tokoh-tokoh yang berperan, merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh itu, mengalami ketegangan karena perasaan yang muncul dan kelegaan ketika persoalan itu dapat diselesaikan. Yang penting dari sebuah cerita adalah makna yang dapat disampaikan kepada para pembaca atau pendengarnya. Sementara itu, bercerita adalah suatu upaya menyampaikan suatu peristiwa dan menghidupkannya sehingga pendengar atau pembaca dapat merasakan peristiwa yang disampaikan, bahkan pendengar atau pembaca dapat mengambil makna dari cerita itu sebagai mutiara kehidupan, mutiara iman (Pua dalam http://asmbektim.tripod.com/renung/renungGSM01.htm).
Cerita memang sangat bertenaga. Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa cerita berperan sangat signifikan bukan hanya dalam perkembangan bahasa anak, tetapi juga perkembangan emosional dan psikologinya (Wals 1993:136 dalam Sarumpaet 2003). Sementara itu, Sarumpaet (2003) mengatakan bahwa cerita dan rangkaian kisah yang disampaikan dalam bahasa yang terstruktur dengan pilihan kata yang tepat amat mempengaruhi kemampuan bahasa seorang anak. Cerita yang membangun kebahasaan itu juga sekaligus memperkaya imajinasi terlebih pengertian dan pengenalan anak atas kehidupan. Oleh karena itu, semakin banyak anak mendengar dan membaca cerita, makin berkembang pula bahasa dan pikirannya.
Bercerita bukan hanya menyampaian pesan atau peristiwa, tetapi juga memberi nuansa yang baik bagi perkembangan anak (Pua dalam http://asmbektim.tripod.com/ renung/ renungGSM01.htm). Kanak-kanak dan cerita bagaikan tidak dapat dipisahkan. Peranan cerita sangat besar dalam proses pendidikan sebuah generasi. Cerita dapat membantu kanak-kanak memperkuat imajinasi, meningkatkan pengalaman, mengmbangkan penguasaan bahasa serta memberikan pelajaran budi pekerti dan nilai murni melalui peristiwa-peristiwa yang diungkap di dalamnya. (Ahmad dalam http://www.danchan.com/weblog/wadah/65567).


1.      Persiapan Bercerita
Bercerita adalah salah satu metode menyampaikan suatu pelajaran, karena itu perlu persiapan. Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan adalah:
  1. mempelajari dan mencari tahu kondisi dan tingkat kemampuan para pendengar
  2. memahami dan menghayati bahan pelajaran yang akan disampaikan
  3. mengolah bahan teresbut dan memperkaya dengan bahan-bahan lain (untuk hal ini dapat menggunakan alat atau gambar peraga yang menunjang, yang juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak).
  4. menyusun bahan tersebut dalam bentuk cerita, yang biasanya terdiri dari:
1)      pendahuluan cerita yang menarik
2)      isi cerita dengan diperkaya bahan lain
3)      makna ceriata yang sederhana dan jelas
4)      klimaks cerita yang menarik
5)      penutup cerita singkat saja tapi berkesan


2.      Teknik Bercerita
Bila konsep cerita telah tersusun dengan baik beserta pengayaannya. Maka selanjutnya adalah menyampaikan konsep itu kepada anak-anak. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah:
  1. mengusahakan dan membiasakan tidak teks-book, menciptakan kontak pandang dan batin dengan anak (konsep yang disusun sebaiknya diendapkan dalam pikiran).
  2. Menggunakan body-language (bahasa tubuh)
  3. Perubahan ekspresi (mimik, raut muka)
  4. Intonasi suara (naik turun suara, lemah kuatnya, tekanan-tekanan dan jeda)
  5. Percakapan, dialog, monolog antaratau oleh pencerita


E.     Alasan Bercerita sebagai Peningkatan Kecerdasan Spiritual Anak
Bercerita merupakan salah satu teknik menyampaikan firman Tuhan (mengajarkan firman Tuhan) yang paling sering digunakan. Ada beberapa alasan  seseorang memilih menggunakan teknik bercerita dibandingkan teknik lainnya seperti drama, diskusi, atau menggunakan peralatan audio visual. Menurut Choun dan Lawson (1993: 308-309), ada beberapa alasan yang sering dikemukakan seseorang menggunakan metode cerita adalah:
  1. Umumnya anak lebih menyukai cerita
Anak kecil telah banyak mengenal beragam cerita, cerita Kancil, cerita Cinderilla, dan lain sebagainya. Cerita telah mengakar lama dalam diri anak meskipun demikian, cerita yang sudah dikenal anak pun akan tetap memiliki daya tarik bila seorang atau orang tua dapat mengemasnya dengan variasai cerita yang menarik, yang disertai dengan adegan-adegan pengulangan.


     2. Lebih murah (tanpa alat peraga)
Bercerita merupakan alat pengajaran yang sangat murah, karena dapat digunakaan dengan atau tanpa alat peraga. Seseorang (orang tua) dapat bebas memilih dan mengembangkan sendiri alat peraga alat peraga yang bervariasi, baik membawa gambar, peraga, boneka sebagai patner, membuat sketsa selama cerita, dan variasi-variasi lain.


      3. Lebih praktis dan fleksibel
Praktis karena dapat dilakukan seorang diri tanpa koordinasi dengan orang lain (seperti drama, misalnya) dan juga fleksibel karena cerita dapat disampaikan hampir di segala tempat maupun situasi, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan, kepada orang dalam jumlah yang banyak atau sedikit.
Berdasarkan keunggulan yang dimiliki bercerita, maka bercerita dicoba diterapkan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Hal ini mengacu kepada hal yang disukai anak bila diajarkan anak akan secara senang dan mudah menyerap apa yang diajarkan dengan baik.
Sayangnya, teknik bercerita dianggap sebagai teknik yang paling “mudah”, sehingga sebagian orang merasa tidak perlu melakukan persiapan karena mereka tinggal “menceritakan ulang” isi bahan yang akan disampaikan kepada anak. Padahal, dalam menyampaikan cerita, seseorang (orang tua) harus benar-benar memiliki persiapan yang cukup matang dalam mengemas ulang isi cerita. Hal ini penting untuk dilakukan agar pada saat cerita disampaikan, tujuan yang ingin dicapai benar-benar sampai pada sasaran.


F.     Pemanfaatan Bercerita dalam Meningkatkan Kecerdasan Spiritual Anak
Bercerita merupakan salah satu cara yang efektif dan murah dalam meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmat (dalam http://www.muthahhari.co.id/dos/artikel/sqanak.htm) yang telah menyampai-kan kiat-kiat meningkatkan SQ anak-anak, yakni (a) jadilah “gemabala spiritual” yang baik, (b) bantulah anak untuk merumuskan misi hidupnya, (c) baca kitab suci bersama-sama dan jelas maknanya dalam kehidupan, (d) ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual, (e) diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah, (f) libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, (g) bacakan puisi,puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional, (h) bawa anak untuk menikmati keindahan alam, (i) bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita, dan (j) ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.
Berdasarkan pendapat di atas, bercerita merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dalam meningkatkan kecerdasan emosional anak. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh orang tua dalam mendidik kecerdasan spiritual anak-anaknya adalah sebagai berikut ini.

  1. Anak disuruh memilih cerita yang diinginkannya
Sebelum anakdipersilahkan emmilih cerita, orang tua berhak menentukan pilihan cerita yang akan dipilih anaknya. Pada kesempatan inilah, orang tua dapat seklaigus menentukan arah peningkatan kecerdasan spiritual anaknya dari lima karakter orang yang cerdas secara spiritual yang meliputi, (a) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (b) kemampan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (c) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (d) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan kemampuan untuk berbuat baik.


       2.  Orang tua bercerita
Setelah anak menentukan cerita yang disukainya, orang tua dapat memulai berceritanya. Orang tahu harus dapat memanfaatkan sisi bercerita ini  sebagai wujud kasih sayang dari orang tua kepada anak, sehingga anak merasa diperhatikan dan disayang oleh orang tuanya. Hal ini yang dapat memberikan daya tarik apa yang dikatakan oleh orang tua secara tidak langsung akan dimengerti dan dilaksanakan oleh anak dengan tanpa paksaan. Nasihat-nasihat orang tua kepada anak dapat juga diselipkan dalam isi cerita tersebut dengan memanfaatkan penokohan tokoh atau peristiwa yang ada dalam isi cerita.


       3. Orang tua menjelaskan isi cerita
Orang tua menjelaskan isi cerita dengan menyelaraskan kelima karakter orang yang cerdas spiritual yang sesuai. Kelima karakter orang yang cerdas spiritualnya adalah seseorang mempunyai (a) kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, (b) kemampan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, (c) kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, (d) kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual untuk menyelesaikan masalah, dan kemampuan untuk berbuat baik. Orang tua dapat merubah redaksional cerita selama isi cerita masih sama dengan aslinya. Hal ini dimaksudkan agar cerita tersebut lebih menarik dan lebih dapat dikenal oleh anak-anak.


        4. Berilah kesempatan anak bertanya
Orang tua harus memberikan kesempatan anaknya setelah ia memberikan isi yang dijelaskan dengan plafon lima karakter orang yang mempunyai kecerdasan spiritual. Orang tua harus mejelaskan semua pertanyaan dengan hal-hal yang konkret dan mudah dikenali oleh anak serta tidak terlupakan harus menuju kelima karakter orang yang cerdas spiritual tersebut.


       5. Anak diminta menerapkan pelajaran yang paling berharga dalam cerita tersebut dalam 
           kehidupan sehari-hari
Orang tua dapat menilai bahwa anaknya telah berhasil memperoleh kecerdasan spiritual, jika ia melihat anaknya dapat menerpkan hasil pelajaran yang diambil dari cerita yang diceritakan orang tua kepadanya. Jadi, untuk mengetahui anak telah memperoleh kecerdasan spiritual jika anak dalam kehidupan sehari-harinya terdapat lima karakter orang yang cerdas spiritualnya.
Sebagai gambaran dari uraian di atas, akan diperlihatkan contoh penerapannya dengan cerita-cerita fabel yaitu cerita Si Raja Hutan dan Tikus, Si Kancil Mencuri Mentimun, Si Kancil Denga Si Siput, dan Si Kancil dengan Si Monyet.
Berdasarkan cerita-cerita di atas, anak telah memilih cerita yang diinginkan, misalnya cerita Si Raja hutan dan Tikus. Kemudian orang tua menceritakan bahwa isi cerita tersebut. Secara ringkasnya, isi cerita tersebut sebagaimana di bawah ini.
Suatu ketika ada seekor singa yang berkedudukan raja Hutan telah terjerat oleh jaring-jaring jebakan pemburu. Singa meraung-raung minta tolong. Sementara itu, ada seekor tikus yang masih asyik berjalan-jalan sambil mencari makanan mendengar raungan singa minta tolong. Si Tikus mendengarkan dengan seksama untuk mengetahui dari mana dating suara minta tolong.
Setelah mengetahui arah datangnya suara minta tolong tersebut, tikus tersebut berkata sambil merinding ketakutan,


“Hai…..siapa itu?”
“Siapa yang minta tolong?”
Kau itu dari bangsa mana?manusia, hewan, jin, ataupun syaitan?”
“Ayo jawab!”
Singa menjawab dengan wajah memelas,
“Aku ini bangsa hewan”
“Aku adalah Si Raja Hutan”


Si Singa selalu membujuk tikus agar menolong dirinya, tak tahan atas raungan singa itu, tikus dengan perasaan agak takut mencoba mendekati singa yang masih dalam keadaan terjerat kemuadian ia menggerogoti sedikit demi sedikit tali yang menjerat Si Raja Hutan.
Dengan rasa sabar, si tikus bekerja keras siang malam menggerogoti tali tersebut tanpa imbalan dari Si Raja Hutan. Meskipun menolong Si Raja Hutan dapat membahayakan dirinya sendiri, yakni jika ia berhasil ia membebaskan Si Raja Hutan, nantinya dirinya sendiri akan dimakan raja hutan yang lapar tersebut atau bahaya datang dari pemburu yang mengetahui ulah nya ingin membebaskan Si Raja Hutan yang telah menjadi incaranya. Hal tersebut tidak ada terlintas dalam pikiran tikus.
Meskipun tikus merupakan hewan kecil dan terhina, tetapi ia hanya berusaha membebaskan Si Raja Hutan yang dalam keadaan bahaya.
“Sabar aja, hai Raja Hutan. Aku pasti menolongmu” kata tikus dengan penuh keyakinan.
Setelah si raja hutan bebas, ia mengucapkan terima kasih sambil berjabat tangan. Si Raja Hutan, ” kita adlah teman dan selamanya taman”.
Tiba giliran si Tikus dikejar-kejar oleh kucing hutanyang kelaparan, kemudian seketika muncul denga tiba-tiba Si Raja Hutan dengan wajah yang garang terhadap kucing yang ingin memangsa tikus. Si Raja Hutan giliran meolong si Tikus.

Selajutnya orang tua menjelaskan isi cerita dengan mengaitkan kelima karakter orang yang cerdas spiritualnya. Sebagaimana cerita di atas, kata-kata yang cetak tebal merupakan kata-kata atau kalimat yang dieksploitasi menjadi sebuah keterangan yang lebih mengarah kepada peningkatan spiritual anak
Berdasarkan hasil penceritaan orang tua kepada anak, tentunya ada hal-hal yang belum dimengerti oleh anak. Saat inilah orang tua memberikan kesempatan anak menanyakan hal-hal yang belum dimengerti dan dipahami. Kemudian dengan meneruskannya hal-hal yang belum dimengerti dan dipahami. Kemudian degna meneruskannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya anak harus menolong temannya yang dalam kesusahan, meskipun biasanya ia menyakiti dirinya sendiri dan sebagainya.
Setelah mengetahui cara atau prosedur pemanfaatan bercerita dalam meningkatkan kecerdasan spiritual anak, tentunya seseorang atau orang tua memperhatikan hal-hal yang harus diperhatikan dalam bercerita. Menurut Choun dan Lawson (1993:308-309), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bercerita yakni:
  1. Pendengar harus terlibat
Cerita yang lengkap bukan jaminan anak akan memahami isi cerita dengan baik namun, dengan keterlibatan anak secara aktif dalam bercerita akan semakin mendorong pemahman anak aka nisi cerita yang diceritakan kepadanya.  


     2. Cerita dapat dimengerti
Dalam menyampaikan cerita, orang tua juga harus melihat kebutuhan rohani anak yang dilayaninya, keadaan dan situasi di mana anak tersebut tinggal, serta pengetahuan anak tentang dunianya.

     3.  Orang tua benar-benar memahami cerita yang akan disampaian
Seorang pembawa cerita yang baik dapat membawa anak-anak serasa masuk ke dalam tempat dan suasana cerita yang sesungguhnya dandapat membuat karakter dalam cerita menjadi lebih hidup. Hal ini bias terjadi apabila orang tua benar-benar memahami cerita yang akandisampaikan. Hal yang perlu dipahami benar antara lain;
a)      tempat kejadian; dalam menggambarkan tempat kejadian, gunakan alat peraga dan kalimat yang jelas untuk memudahkan anak-anak menggambarkan dan memahami tempat terjadinya peristiwa tersebut.
b)      kejadian dan peristiwa; dalam bercerita pada anak-anak kecil, sebaiknya menyampaikan alaur kejadian secara runtut, dari awal, pertengahan hingga akhir. Cerita yang menggunakan alur flashback tidak akan banyak membantu anak-anak untuk mengingatkan cerita sebelumnya. Mengushakan cerita secara kronologis.
c)      karakter; dalam bercerita harus menjelaskan karakter tokohnya, siapa namanya, bagaimana kepribadiannya,.bagaimana bentuk wajahnya, penakut, oemalu, atau pemberani. Bagaimana bentuk badannya, tinggi, kurus, pendek, gemuk. Apa status sosialnya, raja, penduduk, pendatang, pedagang atau pemungut cukai. Apa motivasi yang dimiliki tokoh tersebut. Apa keistimewaannya dan kembangkan karakternya dengan jelas.

Kemudian waktu yang paling tepat dalam bercerita kepada anak adalah ketika anak akan tidur. Artinya, cerita yang disampaikan merupakan obat bius orang tua kepada anaknya sebagai teman tidur anak.


G.    Penutup
Sebenarnya, banyak manfaat yang dapat diambil dari kegiatan bercerita. Akan tetapi banyakmnya manfaat bukan jaminan bila sesatu dapat dipahami dan dimerngerti oleh orang banyak, terutama dalam hal ini bercerita. Untuk itu, meski perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Menurut penulis, bukan jaminan dapat menggantikan kegiatan bercerita. Sebab, di dalam bercerita ada penanaman nilai-nilai yang memiliki muatan untuk meningkatkan kecerdasan spiritual anak yang tidak dapat ditemukan dalam penggunaan media yang secangging apa pun. Semoga, perkembangan anak dini bangsa ini dapat menjadi generasi yang mampu membawa bangsa ini menjadi adil dan makmur, amin.


Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | nanda Template | Mas Template
Copyright © 2011. SAYANG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Nanda
Proudly powered by Blogger